Tapak-tapak Durbala

Taufiq Pangestu
4 min readMay 13, 2024

--

Larut-larut perjalanan hidupnya di tengah huru-hara sekitar cukup membekas dan menumpuk di pikirannya setiap malam. Langkah kecil mungil bahkan merangkak-rangkak lamban dan tersesak. Padahal tak lama lagi waktu dunia siap menerkamnya dan dengan tega membuangnya ke dalam sejarah yang semakit kusut. Ia hanyalah sebutir debu di tengah kesesakan raksasa sekitar yang semakin membuatnya tidak berarti. Sebentar ia hidup di tengah padat keramaian sambil berdesakan dengan para preman. Sesekali ia menikmati persinggahan yang sunyi di antara lambaian daun-daun lebat yang berbaris tidak bertepi. Sebentar lainnya ia dituduh mengotori dan dibuang ke dalam penampungan sampah setelah diludahi ledekan, dikeroyok pentungan oleh para jantan, dan ditelanjangi anak-anak mereka yang berkeliaran seperti hewan. Bahkan sebentar lagi ia terserok hempasan angin tidak berarah yang entah kemana akan membawanya pergi, setelah memeras sisa darahnya tetes demi tetes sehingga terbentuk jejak-jejak merah setiap kali telapaknya berpijak di atas jalanan. Sedari kecil dirinya dipaksa bertengkar dengan pertalian kerabat-kerabat dekatnya. Ia diasingkan dari lingkaran besar persaudaraan yang kelak menjadi asing dan menjadi doa kutuk baginya. Ialah yang lemah dan hampir tertimbun tanah. Dan bagi dirinya yang lemah, ia diberi nama berkah.

Kala itu tampillah dirinya di tengah sepinya malam dengan bersujud di antara alas duduknya dan diiringi nyanyian serangga bersahutan yang bertengger di sela-sela rangkaian cabang pepohonan. Ia mengandai-andaikan kesejahteraan yang tidak pernah ia gapai selama tidurnya dan tidak pernah ia kecap di atas kesadarannya. Dengan berbekal sehelai harta yang tersisa dari hasil penjualan keringat berbagai rasa kepada para penikmat pasar malam itu, ia merangkak-rangkak lagi. Lalu, riak kejutan pecah riuh untuk setiap tetes haru. Bukan, bukan darinya yang berjuang. Namun, ada sepasang kaki yang hampir patah dan perut yang keriput menahan lapar untuknya.

“Terima kasih, ya. Izin pamit.”
Dibalasnya dengan senyum bangga,
“Merangkaklah lagi di bidang-bidang langit yang lain”

Dan bagi dirinya yang lemah, ia diberi berkah untuk menapakkan kakinya lagi di hembusan angin yang asing. Ia ketagihan bermain di atas panggung, meskipun tawarannya adalah kesengsaraan bukan kesejahteraan. Kali ini tidak ada lagi yang membawanya begitu hancur dan mendesak dirinya untuk terusir dari perkumpulannya, tapi tetap, dirinya berdiri di atas kaki yang tidak kokoh serta mudah terayun-ayun gelombang air baru. Aliran air yang memberikan kepastian dan membawakannya jaminan atas kehausan yang ia alami selama ini. Terkadang ia berdiam diri di antara rerumputan yang tumbuh subur di tengah delta. Terkadang ia berjuang sendiri dengan bekal secangkir teh dan sesendok gula dapur sisa jamuan kemarin. Mungkin nanti ia akan menjadi parasit di saat yang lainnya menghirup harum santapan mewah yang mereka pesan dari restoran tengah kota. Tatkala dirinya merasa segar bugar, lagi-lagi ia ketagihan bermain di atas panggung, meskipun harus mempertaruhkan jaminan kepuasan yang menghantarkannya kepada masa-masa yang berarah. Ia mabuk dengan ketenaran dan perhatian setiap sorot mata yang menatap tajam ke arahnya. Kepada masa yang harusnya berakhir, ia justru terlarut-larut di tengah huru-hara sekitarnya yang tidak lagi menampakkan bekasnya. Kepada rasa yang seharusnya tidak perlu diukir, ia mulai merengek-rengek kepada Tuhannya serta berseru,

“Kemanakah perginya segala penebusan untukku? Apakah Engkau tega melihatku hampir mati disiksa permainan-Mu?”

Di pertengahan malam ia menaruh tubuhnya di antara ambisi merdeka sambil melipat lutut dan menunjuk-nunjuk langit. Ratusan purnama yang memamerkan keindahan rupa kepadanya tidak pernah mengenakan topeng untuk menjadi perwakilan langit yang menolak setiap nafsu yang ia kira untuk merdeka. Ia lupa dari mana ia berasal dan menjadi tidak tahu diri. Ia yang didoakan menjadi berkah tapi akhirnya merangkak tanpa arah.

Lalu ia duduk lagi di antara bintang-bintang untuk mencurahkan setiap lembar catatan insiden kepada mereka. Semenjak bulan menolak kehadirannya, kali ini ia berusaha merayu-rayu gugusan cahaya yang berjajar di atas langit itu untuk menemaninya di kesepian hidupnya. Mereka begitu hangat memeluknya di gelap yang dingin, sambil membisikkan nasihat yang sesekali meledek sejarahnya. Beberapa kali mereka tertawa kecil. Tak jarang mereka saling melempar gelak tawa yang memecah kesunyian malam sambil menari-nari merayakan kesederhanaan dan kecukupan. Ia diberikan sandaran untuk menaruh sejenak setiap beban yang menusuk kelopak matanya setiap kali akan kembali terlelap. Punggungnya yang terasa berat selepas sepanjang hari memikul harap, dibuatnya lega dan lepas. Mereka dengan bijak menerjemahkan doa-doa dari jauh itu sebagai penawar hati yang susah, setelah selama ini ia mengira dijadikan satu-satunya alas kaki bagi tubuh yang kian rapuh. Mereka akrab dengan kesusahannya.

Setelah nalurinya pulih, beriringan dengan pertikaian yang sudah semakin pudar, ia kembali merangkak seperti yang didoakan. Ia pun turut mendoakannya. Di tengah-tengah larut-larut perjalanan hidupnya, ia menyerahkan dirinya. Kemana jalannya menuntunnya, ia akan memijaknya perlahan-lahan dengan rintihan yang mengharapkan masa penuaian. Ia hanyalah sebutir debu di tengah kesesakan raksasa sekitarnya, namun ia tidak lagi pernah kehabisan karung-karung fantasi dan menamai setiap bintang di langit dengan mimpi kecil-kecilannya. Ialah yang paling lemah tapi Tuhan titipkan berkah.

-Bandung, 13 Mei 2024

--

--