Tenda Roda Tiga

Taufiq Pangestu
2 min readNov 20, 2021

--

Lihatlah, Pak, roda becak ini sudah tidak lagi benar-benar berputar. Diameternya semakin jauh dari simetris, bengkok. Ia bahkan sudah terlalu tua untuk mengangkut semua beban kita, apalagi menggeret setiap kayuhan kakimu di tengah terik dan hujan. Ia bahkan tidak lagi berdaya untuk menanggung semua tuntutan perut kita, apalagi memikul setiap masa depan masing-masing kita.

Lihatlah, Pak, pedal besi yang kiri tinggal seperempat, di ujungnya nampak batang punggung yang panjangnya 12 senti dan berkarat. Hampir di tiap ayunan kakimu, kau terpeleset, membuatmu meringis kesakitan karena tengkorak pedal itu menusuk betismu tak tanggung-tanggung. Selebih-bagian pedalnya hancur diseret ban mobil mewah yang harganya tidak sanggup kau bayar walau seratus ribu hari kau diterkam terik sampai kakimu kejang. Ingatkah dulu bukan hanya tiga perempat bagian yang hilang, tapi urat sabarmu juga; mempertahankan harga diri dari orang berdasi.

Aku pun khawatir setiap hujan mulai menembus ke dalam tanah. Bagaimana tidak, payung pelindungnya tak lagi utuh, berlubang di setiap sisi sampingnya, pun sebagian yang di atas kepalaku ini. Tajam sekali hunjaman rintik hujan itu. Kejam juga. Mengapa tidak saja mengincar atap mobil orang berdasi itu? Biar dirasakannya kuyub hujan sekali-kali.

Lebih dari seribu banyaknya kenangan sudah, menjamur di atas gabus dudukan itu, di bawah tenda penutup itu, di dalam gerobak tua berselimut kayu kalimantan itu yang tak lekang dari seorang anak manusia tiada pernah mengharap peluhnya kembali.

Kami menangis,
tertawa,
kami makan bersama,
saling menyuapi,
engkau bercerita di suatu malam
lalu kami berimajinasi,
bahagia,
mungkin orang yang lewat akan merasa iri dengan wajah-wajah ceria yang ada di dalam tenda beroda ini; benar-benar seperti tiada terselip beban sedikit pun di antara kita.

Namun, aku tak mampu mengintip setiap sedu yang disembunyikan jauh di dalam hatimu.

Entahlah apa yang kau pikirkan setiap detiknya, karena sesungguhnya aku tidak pernah berhenti tersayat hati mendengar rengekanmu di setiap gelapnya fajar ketika kau kira kami sedang pulas-pulasnya bermimpi. Kapan kau pandai menutup tangismu di hadapan anak-anakmu? Lututmu berkecup lantai tiap subuh. Punggung kusam itu ditundukkannya memohon.

Dengan sangat.

“Tuhan berilah kami rezeki pada hari ini”, pasrah hati kau ucap sambil mengusap pipi keriputmu dari basah air mata.

"Ambillah ini, Ayah bawakan untukmu"
"Terimakasih, Yah. Ayah tidak makan?"
"Ayah sudah kenyang, sudah makan di sana tadi"

Pak,
pandanglah dirimu sejenak dahulu, bercerminlah di spion mobil orang itu.
Perhatikan setiap titik debu jalanan yang mengolah wajahmu,
kerut di kening dan pipimu,
hitam berkantung matamu,
kerontang kering tulang punggungmu,
keroncongan perut buncit tuamu,
dan suara lirih yang terbata-bata itu,
semuanya itu,
jangan kira sanggup menjadi topeng dari kesusahanmu.

Lihatlah, Pak, roda becak ini sudah tidak lagi benar-benar berputar. Ia berhenti di marjin Jalan Tiada Pernah Lapar, bersandingan dengan rumah makan mewah bercat hijau nomor 9 itu.

- 20 November 2021 -

--

--